Monumen Dokter Soetomo merupakan sebuah bangunan yang
didedikasikan untuk menghormati jasa Pahlawan Nasional yaitu Dr. Soetomo.
Monumen ini terletak di Desa Ngepeh, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Desa
Ngepeh merupakan desa kelahiran Dr. Soetomo bahkan menurut orang sekitar
ari-ari atau plasenta beliau di kubur tepat di bawah patung Dr. Soetomo yang
terletak di kompleks monumen tersebut.
Bangunan ini memiliki luas 3,5ha, menurut warga sekitar,
lokasi ini dulunya adalah milik nenek dari Dr.Soetomo sendiri. Kompleks
bangunan ini terdiri dari satu pendopo induk, di sebelah kanan pendopo induk
terdapat satu pendopo kecil sedangkan di sebelah kiri terdapat bangunan museum
yang berisi beberapa barang yang berhubungan dengan Dr. Soetomo ketika masih
berkiprah dalam bidang politik dan medis kala itu. Berikut rincian bangunan yan terdapat dalam komplek monumen ini
1. Patung Dr. Soetomo
Patung menghadap ke selatan menggambarkan Dr. Soetomo dalam posisi duduk
dan sedang membuka buku. Tinggi keseluruhan patung yang terbuat dari
semen ini kurang lebih 4 meter. Di bawah patung terdapat kata-kata
bijak dari Dr. Soetomo: “Di Indonesia tempat kita, Di sana tempat
berjuang kita, Di sana harus ditunjukkan keberanian, keperwiraan dan
kesatriaan kita, Terutama sekali kecintaan kita pada nusa dan bangsa.
Marilah kita bekerja di sana. Di tanah tumpah darah kita”.
patung Dr.Soetomo |
2. Pendopo Induk
Bangunan pendopo induk yang berukuran 20x20 m ini melatarbelakangi
patung utama Dr. Soetomo. Bangunannya berbentuk joglo tanpa dinding,
sehingga di tempat ini terasa sejuk dan nyaman.
Tempat yang luas dan nyaman tersebut pada hari-hari tertentu digunakan untuk pertemuan, seperti pertemuan pramuka, pemuda, karang taruna, dan lain-lain. Sedangkan sehari-harinya digunakan sebagai tempat rekreasi bagi para muda dan anak-anak sekolah.
Tempat yang luas dan nyaman tersebut pada hari-hari tertentu digunakan untuk pertemuan, seperti pertemuan pramuka, pemuda, karang taruna, dan lain-lain. Sedangkan sehari-harinya digunakan sebagai tempat rekreasi bagi para muda dan anak-anak sekolah.
Pendopo Induk |
3.Bangunan Pingitan
Bangunan pringgitan ada 2 buah, masing-masing berukuran 6x12 m. Posisi
bangunannya agak ke belakang di samping kanan dan kiri bangunan induk.
Bangunan pringgitan di sebelah timur dibiarkan terbuka (tanpa dinding),
sedangkan di sebelah barat atas rintisan Prof. Dr. Moh. Illias (Kepala
UDF Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo, Surabaya) dijadikan
museum untuk benda-benda peninggalan Dr. Soetomo. Bangunan pringgitan
yang kemudian dijadikan museum ini menghadap ke selatan membujur timur
barat.
Bangunan Pingitan Timur |
Bangunan Pingitan Barat |
Uraian Singkat Tentang Dokter Soetomo
Soetomo
dilahirkan di Desa Ngepeh, Kabupaten Nganjuk, pada tanggal 30 Juli 1888.
Ia adalah putra pertama pasangan Raden Soewadji dan Raden Ayu Soedarmi.
Ayah Soetomo tidak dapat setiap hari menunggui putranya di Ngepeh
karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri di Jombang. Setelah bayi
Soetomo dianggap cukup kuat, ibunya kemudian kembali ke Jombang untuk
mendampingi suaminya, sedangkan Soetomo diasuh oleh nenek dan kakeknya
di Ngepeh.
Sebagai cucu pertama yang hidup bersama kakek dan neneknya yang berkecukupan, Soetomo kecil amat dimanja. Pada saat usianya cukup untuk mulai bersekolah, Soetomo menolaknya karena masih lebih senang bermain bersama teman-temannya, dan bermanja-manja pada para abdi kakek dan neneknya di Ngepeh. Berbagai upaya membujuk Soetomo agar mau bersekolah dilakukan, dan akhirnya berkat dorongan pamannya, pada tahun 1896, Soetomo mau bersekolah. Saat itu Soetomo berusia 8 tahun. Ia disekolahkan di Bangil, Pasuruan, ikut pada keluarga Raden Hardjodipuro, pamannya tersebut. Soetomo bersekolah pada sekolah desa setingkat sekolah dasar di zaman sekarang.
Di sekolah tersebut Soetomo mulai mengenyam pendidikan formal dan belajar menulis, berhitung, membaca, Bahasa Jawa, sedikit Bahasa Belanda, dan ilmu pengetahuan lainnya. Soetomo selalu menempati ranking teratas dan mampu menyelesaikan pendidikannya selama enam tahun. Ia lulus pada tahun 1912 di usianya yang 14 tahun lebih. Masa muda Soetomo diukir semakin gemilang saat usia 15 tahun, bersama 13 orang temannya masuk ke Sekolah Dokter (Stovia) di Jakarta pada tanggal 30 Januari 1903. Kemudian pada tahun 1907 bersama Dr. Wahidin Sudirohusodo memikirkan cara untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tokoh lain yang mendorong Soetomo menjadi salah satu tokoh pergerakan nasional adalah Dr. Douwes Dekker (Setyobudi), seorang peranakan Belanda.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Soetomo bersama kawannya mendirikan Boedi Oetomo, dan Soetomo diangkat menjadi ketuanya. Selanjutnya tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selanjutnya Boedi Oetomo berkembang di kota-kota besar di Jawa seperti Bogor, Bandung, Magelang, dan Yogyakarta. Boedi Oetomo mengadakan Konggres I di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Pada akhir tahun 1909, Boedi Oetomo telah mempunyai cabang dengan 10.000 orang anggota.
Soetomo menamatkan Sekolah Dokter (Stovia) pada tahun 1911 dan memperoleh gelar Dokter Jawa. Ia dinas pertama kali di Semarang, kemudian dipindah ke Betawi. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1912, Dr. Soetomo dipindah ke Lubuk Pakam di Sumetera Timur. Pada tahun 1914 wabah pes yang masih belum reda itu mengharuskannya dimutasi ke Kepanjen Malang, kemudian ke Magetan. Dari Magetan pindah ke Baturaja, dan pada tahun 1917 dipindahkan ke Blora. Di Blora-lah Dr. Soetomo kemudian menikah dengan seorang perawat berkebangsaan Belanda bernama Evardina Johanna Broering, seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Dialah yang menjadi teman hidup Dr. Soetomo sampai akhir hayatnya, meskipun pada awalnya pernikahan mereka sempat ditentang oleh teman-teman seperjuangan Dr. Soetomo karena kuatir akan mengingkari cita-cita perjuangannya. Bakti Evardina yang tulus serta dukungan terhadap semua aktivitas perjuangan Dr. Soetomo membuatnya semakin mencintai istrinya. Bagi Dr. Soetomo, tidak ada wanita lain di hatinya. Evardina adalah segalanya.
Pada tahun 1919 Dr Soetomo menempuh tugas belajar di Universitas Amsterdam. Di negeri Belanda tersebut Dr. Soetomo aktif dalam Perhimpunan Indonesia dan menjadi ketuanya, serta mengikuti Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1923 Dr Soetomo dapat menamatkan pendidikannya dan memperoleh Diploma Europeech Aertsen sebagaimana yang dicita-citakannya selama bersekolah di STOVIA. Sebelum kembali ke Indonesia, guna lebih memperdalam ilmunya, untuk sementara waktu Dr. Soetomo bekerja pada Prof. Mendes da Costa di Amsterdam, kemudian menjadi asisten dalam Ilmu Dermatologi pada Prof. Dr. Unma di Hamburg, seorang guru besar yang amat terkenal di seluruh dunia. Dr. Soetomo juga memperdalam penyakit kulit dan kelamin pada Prof. Plaut di Weenen Paris, setelah itu barulah beliau pulang ke Indonesia dan menetap di Surabaya.
Di tahun 1934, tepatnya tanggal 17 Februari 1934, istri Dr. Soetomo meninggal dunia. Hal tersebut membuat Dr. Soetomo kehilangan pendorong utama dalam memimpin pergerakan kebangsaan Indonesia. Meski demikian, pada tanggal 11 Juli 1924, Dr. Soetomo masih mendirikan Pandu Bangsa Indonesia (Indonesische Studie Club). PBI selanjutnya mendirikan PPPKI bersama golongan politik lainnya. Pada 16 Oktober 1930, PBI yang diketuai Dr. Soetomo menjadi partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan RI.
Pada tahun 1935 diadakan fusi antara PBI dengan Boedi Oetomo yang dikeduanya diketuai oleh Dr. Soetomo, hingga terbentuklah Parindra. Pada bulan Maret 1936, Dr. Soetomo berkunjung ke luar negeri, antara lain ke Jepang, India, Mesir, Inggris, Belanda, Turki, Palestina, dan Semenanjung Malaka, guna studi banding dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya 15 Mei 1937 Parindra mengadakan Konggres dan Dr. Soetomo ditunjuk sebagai ketuanya.
Pada 30 Mei 1938, setelah menderita sakit selama kurang lebih dua tahun, Dr. Soetomo meninggal dunia di Surabaya dalam usianya yang ke-50 tahun. Jenazahnya dimakamkan di halaman Gedung Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, Surabaya. Pemakamannya dihadiri ribuan pelayat dari berbagai lapisan masyarakat, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawannya, seorang pahlawan kemanusiaan yang berjuang menjadikan Bangsa Indonesia sebagai manusia bermartabat.
Sebagai cucu pertama yang hidup bersama kakek dan neneknya yang berkecukupan, Soetomo kecil amat dimanja. Pada saat usianya cukup untuk mulai bersekolah, Soetomo menolaknya karena masih lebih senang bermain bersama teman-temannya, dan bermanja-manja pada para abdi kakek dan neneknya di Ngepeh. Berbagai upaya membujuk Soetomo agar mau bersekolah dilakukan, dan akhirnya berkat dorongan pamannya, pada tahun 1896, Soetomo mau bersekolah. Saat itu Soetomo berusia 8 tahun. Ia disekolahkan di Bangil, Pasuruan, ikut pada keluarga Raden Hardjodipuro, pamannya tersebut. Soetomo bersekolah pada sekolah desa setingkat sekolah dasar di zaman sekarang.
Di sekolah tersebut Soetomo mulai mengenyam pendidikan formal dan belajar menulis, berhitung, membaca, Bahasa Jawa, sedikit Bahasa Belanda, dan ilmu pengetahuan lainnya. Soetomo selalu menempati ranking teratas dan mampu menyelesaikan pendidikannya selama enam tahun. Ia lulus pada tahun 1912 di usianya yang 14 tahun lebih. Masa muda Soetomo diukir semakin gemilang saat usia 15 tahun, bersama 13 orang temannya masuk ke Sekolah Dokter (Stovia) di Jakarta pada tanggal 30 Januari 1903. Kemudian pada tahun 1907 bersama Dr. Wahidin Sudirohusodo memikirkan cara untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tokoh lain yang mendorong Soetomo menjadi salah satu tokoh pergerakan nasional adalah Dr. Douwes Dekker (Setyobudi), seorang peranakan Belanda.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Soetomo bersama kawannya mendirikan Boedi Oetomo, dan Soetomo diangkat menjadi ketuanya. Selanjutnya tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selanjutnya Boedi Oetomo berkembang di kota-kota besar di Jawa seperti Bogor, Bandung, Magelang, dan Yogyakarta. Boedi Oetomo mengadakan Konggres I di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Pada akhir tahun 1909, Boedi Oetomo telah mempunyai cabang dengan 10.000 orang anggota.
Soetomo menamatkan Sekolah Dokter (Stovia) pada tahun 1911 dan memperoleh gelar Dokter Jawa. Ia dinas pertama kali di Semarang, kemudian dipindah ke Betawi. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1912, Dr. Soetomo dipindah ke Lubuk Pakam di Sumetera Timur. Pada tahun 1914 wabah pes yang masih belum reda itu mengharuskannya dimutasi ke Kepanjen Malang, kemudian ke Magetan. Dari Magetan pindah ke Baturaja, dan pada tahun 1917 dipindahkan ke Blora. Di Blora-lah Dr. Soetomo kemudian menikah dengan seorang perawat berkebangsaan Belanda bernama Evardina Johanna Broering, seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Dialah yang menjadi teman hidup Dr. Soetomo sampai akhir hayatnya, meskipun pada awalnya pernikahan mereka sempat ditentang oleh teman-teman seperjuangan Dr. Soetomo karena kuatir akan mengingkari cita-cita perjuangannya. Bakti Evardina yang tulus serta dukungan terhadap semua aktivitas perjuangan Dr. Soetomo membuatnya semakin mencintai istrinya. Bagi Dr. Soetomo, tidak ada wanita lain di hatinya. Evardina adalah segalanya.
Pada tahun 1919 Dr Soetomo menempuh tugas belajar di Universitas Amsterdam. Di negeri Belanda tersebut Dr. Soetomo aktif dalam Perhimpunan Indonesia dan menjadi ketuanya, serta mengikuti Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1923 Dr Soetomo dapat menamatkan pendidikannya dan memperoleh Diploma Europeech Aertsen sebagaimana yang dicita-citakannya selama bersekolah di STOVIA. Sebelum kembali ke Indonesia, guna lebih memperdalam ilmunya, untuk sementara waktu Dr. Soetomo bekerja pada Prof. Mendes da Costa di Amsterdam, kemudian menjadi asisten dalam Ilmu Dermatologi pada Prof. Dr. Unma di Hamburg, seorang guru besar yang amat terkenal di seluruh dunia. Dr. Soetomo juga memperdalam penyakit kulit dan kelamin pada Prof. Plaut di Weenen Paris, setelah itu barulah beliau pulang ke Indonesia dan menetap di Surabaya.
Di tahun 1934, tepatnya tanggal 17 Februari 1934, istri Dr. Soetomo meninggal dunia. Hal tersebut membuat Dr. Soetomo kehilangan pendorong utama dalam memimpin pergerakan kebangsaan Indonesia. Meski demikian, pada tanggal 11 Juli 1924, Dr. Soetomo masih mendirikan Pandu Bangsa Indonesia (Indonesische Studie Club). PBI selanjutnya mendirikan PPPKI bersama golongan politik lainnya. Pada 16 Oktober 1930, PBI yang diketuai Dr. Soetomo menjadi partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan RI.
Pada tahun 1935 diadakan fusi antara PBI dengan Boedi Oetomo yang dikeduanya diketuai oleh Dr. Soetomo, hingga terbentuklah Parindra. Pada bulan Maret 1936, Dr. Soetomo berkunjung ke luar negeri, antara lain ke Jepang, India, Mesir, Inggris, Belanda, Turki, Palestina, dan Semenanjung Malaka, guna studi banding dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya 15 Mei 1937 Parindra mengadakan Konggres dan Dr. Soetomo ditunjuk sebagai ketuanya.
Pada 30 Mei 1938, setelah menderita sakit selama kurang lebih dua tahun, Dr. Soetomo meninggal dunia di Surabaya dalam usianya yang ke-50 tahun. Jenazahnya dimakamkan di halaman Gedung Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, Surabaya. Pemakamannya dihadiri ribuan pelayat dari berbagai lapisan masyarakat, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawannya, seorang pahlawan kemanusiaan yang berjuang menjadikan Bangsa Indonesia sebagai manusia bermartabat.
Kondisi Sekarang
Dengan melihat nilai historis dari tempat ini sangat disayangkan sekali i kondisinya kurang terawat, hal ini terjadi karena banyaknya masyarakat yang kurang bisa menghargai perjuangan para Pahlawan tersebut. Contoh nyata dari sekian banyak pengunjung yang berkunjung di lokasi ini pasti sangat sedikit yang datang dengan tujuan menghargai perjuangan Dr. Soetomo, pasti kebanyakan mereka lebih bertujuan untuk mencari tempat refreshing saja. :-) hal itu memang tidak perlu dipermasahkan karena setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap sesuatu
Lokasi ini ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar di sore
hari terutama pada hari minggu. Seperti pepatah dimana ada gula pasti ada
semut maka seperti itulah karena disini
banyak orang berkunjung maka banyak pula pedagang-pedagang yang menjajakan
barang dagangannya, jadi sembari bersantai anda bisa sambil menikmati secangkir
kopi atau yang lainnya.